ARTIKEL


FORMAT IDEAL UJIAN NASIONAL DALAM PENDIDIKAN

Ujian Nasional (UN) adalah problematika nasional pendidikan yang sampai saat ini belum memperlihatkan tanda-tanda kesempurnaan. Penyebaran materi pembelajaran yang telah diajarkan belum terakomodir dengan sempurna kedalam butir soal yang ditampilkan karena butir soal hanya mengukur kognitif (pengetahuan) saja sementara afektif (sikap) dan psikomotorik (praktek) terabaikan. Kemana pendidikan kita akan kita kiblatkan? Apakah ke perolehan angka-angka (ijasah) atau ke perolehan materi pembelajaran atau keterampilan (skiil). Sebuah telaahan yang komprehensif.
Kebijakan UN hendaknya jangan dijadikan standar kelulusan bagi siswa, tetapi sebagai indikator kemampuan siswa dari proses belajar yang sudah dilakukan. Kemendiknas telah menyelenggarakan  UN formula baru sejak tahun 2011. Formulanya 60 % UN dan 40% mengambil dari nilai rapor dan hasil UAS (nilai sekolah). Kelulusan ditentukan oleh akumulasi dari hasil UN dan nilai sekolah, yang saat ini ditetapkan 5,5 dengan ketentuan nilai per bidang studi minimal 4,00.Yang berbeda juga pada jumlah paket soalnya. Jika tahun sebelumnya hanya 2 paket soal, A dan B. Saat ini jumlahnya 5 paket soal plus 1 paket cadangan. Pembagian soal kepada siswa dilakukan secara random. Cara ini dimaksudkan untuk menekan angka kecurangan. Diyakini, formula baru ini akan menghasilkan UN yang lebih jujur dibandingkan tahun sebelumnya yang kelulusan hanya ditentukan hasil UN. Namun yang perlu diwaspadai adalah potensi untuk “mendongkrak”nilai raport.
Untuk itu, seharusnya metode UN dikembalikan pada tempatnya. Hasil UN sama seperti Nilai Ebtanas Murni (NEM) pada masa lalu, yang tidak menjadi standar kelulusan siswa, namun tetap diperlukan sebagai  pemetaan mutu pendidikan. Tugas pokok pemerintah adalah menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, seperti peningkatan mutu guru, akses buku pelajaran bagi siswa, pembangunan sekolah, laboratorium, dan perpustakaan. Soal lulus atau tidaknya siswa, biarlah guru yang memutuskan. Semua siswa yang telah mengikuti proses pembelajaran di sekolah berhak mendapatkan surat tanda tamat belajar (STTB), yang nilai di dalamnya diberikan oleh guru melalui ujian sekolah dan tidak perlu direkayasa. Penilaian yang diberikan oleh guru itu merupakan hak otonomi guru, sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 58 (1) bunyinya: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Hasil belajar akan terevaluasi melalui “Nilai Akhir Kumulatif”. Inti dari metode ini adalah dengan mengumpulkan Nilai laporan pendidikan selama tiga tahun untuk dijadikan Nilai Akhir kumulatif. Rekapitulasi nilai siswa/siswi yang dihitung secara kumulatif lebih mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama tiga tahun dibandingkan nilai UN yang hanya tiga hari. Dengan menerapkan metode ini, peran guru yang beberapa waktu ini hilang karena kekakuan dari UN akan kembali seperti sediakala. Perlu diketahui, guru lebih mengenal siswa/siswinya dibandingkan dengan mesin pengolah data UN. Pemerintah dapat mengatur berapa Standar “Nilai Akhir Kumulatif” yang dibutuhkan sebagai syarat kelulusan. Selain itu, idealnya pada tingkat SMA, siswa mengikuti ujian nasional namun tiap siswa diberi kebebasan memilih mengikuti ujian mata pelajaran yang dia kuasai dan sesuai dengan rencana studinya di perguruan tinggi. Ujian nasional ini hendaknya terdiri dari ujian tulis dan praktik. Jika ia ingin masuk fakultas kedokteran misalnya, ia hanya memilih mengikuti ujian mata pelajaran Kimia, Biologi, dan Matematika. Dengan mengantongi nilai kelulusan mata-mata pelajaran tertentu ini, lulusan SMA langsung diperbolehkan mendaftar di perguruan tinggi. Apalagi jika  SNMPTN dihapus dengan pertimbangan efisiensi, sebaiknya UN hanya diperuntukkan bagi siswa yang mau melanjutkan kuliah di PTN. Adapun untuk siswa Sekolah Menengah Kejuruan, selain ujian tertulis, seharusnya uji kompetensi (skill) dan keterampilan sangat menentukan kelulusan siswa terutama yang sesuai dengan jurusannya dan yang diperlukan dalam dunia kerja.
 Sebenarnya, contoh yang baik dari berbagai negara sudah ada. Kita tinggal belajar dari negara-negara itu. Tahun ini India mereformasi sistem ujiannya dan bentuk soal pilihan ganda itu telah mereka kuburkan dalam kubur tradisi pendidikan yang kuno. Sistem ujian nasional Singapura dan Malaysia jauh lebih baik karena ada ujian praktik di samping ujian tulis.
Selain itu, perlu dikaji lagi analisis Kesahihan Soal. Keterkaitan antara pengajaran dan ujian dalam sistem pendidikan nasional juga tidak pernah diuji secara transparan di forum publik. Seharusnya soal-soal ujian yang sudah digunakan dibuka, paling tidak di forum-forum akademik, agar publik bisa menganalisis kesahihan dan keterandalannya serta analisis poin-poin soal. Ini penting mengingat disparitas mutu dan kemampuan menyerap antar daerah masih besar, analisis dan masukan dari berbagai pihak perlu dilakukan. Proses ini akan membuat birokrat pendidikan semakin tumbuh dalam kompetensi dan pengetahuan. Sungguh mengherankan bahwa ternyata tak sampai 50% siswa yang mampu lolos dari soal Pra UN. Jelas soalnya tidak sahih karena melanggar prinsip ujian yaitu soal tidak menguji apa yang diajarkan kepada siswa (test what you teach). Jika siswa selama ini diajarkan lebih kepada menghafal fakta-fakta dan data-data dan tiba-tiba mereka diminta untuk dapat mengerjakan soal yang berkategori analisis ataupun lebih tinggi dari itu maka itu jelas tidak adil. Ini sama dengan mengajarkan siswa TEORI mengemudi tapi yang diuji adalah PRAKTEK mengemudinya. Jadi siswa berada pada mata rantai paling belakang jika ada yang harus disalahkan tetpi perlu kita kaji bersama bagaimana “system” yang ideal dalam UN.  Menyalahkan siswa dan orang tua dalam kegagalan UNAS adalah cermin sikap melepaskan tanggung jawab yang akan membuat bangsa ini tidak mampu belajar dari kesalahan.
Jangan sampai UNAS ini akan membuat kita mereduksi tujuan pendidikan. Kita sudah tidak peduli lagi dengan tujuan pendidikan dan bagaimana proses tersebut dilakukan. Yang penting bagaimana agar siswa kita semua bisa lolos dari UNAS tersebut. Jangan sampai UNAS telah menjadi tujuan pendidikan itu sendiri.Demi kelulusan yang tidak adil tersebut siswa dicekoki dengan berbagai soal-soal tes dan bahkan sekolah menghentikan pengajaran bidang studi yang dianggap ‘tidak penting’. Tak ada lagi proses belajar mengajar. Yang ada hanyalah drilling soal-soal agar bisa mengerjakan soal UNAS. Jelas yang terjadi justru teach what you test (ajarkan apa yang akanAnda ujikan). Pada saat itulah sekolah terjebak dan berubah menjadi tidak lebih dari bimbingan belajar. Guru yang seharusnya menjadi fasilitator yang mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan dan interaksi siswa juga terjebak dan berubah menjadi mesin distribusi soal-soal latihan dan koreksi jawaban siswa.
Bahwa kita harus punya semangat bekerja keras kalau mau sukses memang benar, tapi jangan sampai adanya sistem ujian Nasional itu justru menyebabkan kemerosotan moral dan karakter pendidikan kita.Pemerintah semestinya memberikan perhatian lebih pada aspek pendidikan secara total. Sistem seleksi yang benar bagi guru mata pelajaran, kepala sekolah, pengawas pendidikan, dinas pendidikan, kepala daerah, menteri pendidikan. Sehingga mereka memiliki visi dan misi yang benar dalam upaya mencerdaskan anak bangsa dengan nilai-nilai kejujuran, sportivitas, dan profesional. Ketika hal tersebut belum terpenuhi jangan harap mutu pendidikan di Indonesia akan meningkat. Ketika sekolah melahirkan anak-anak didik yang tidak jujur, dan tidak sportif maka dalam rentang waktu beberapa tahun kemudian Indonesia akan memiliki pejabat-yang kurang sportif. Maka menjadi hal yang wajar jika semakin banyak saja para koruptor di negeri ini. Solusinya kembali pada mau atau tidaknya kita dalam upaya mencerdaskan anak-anak bangsa dengan nilai-nilai kejujuran, spotifitas dan profesional ? kecurangan atau ketidakjujuran adalah tindakan yang melukai missi pendidikan itu sendiri. Karena itu dari sudut pandang etis tidak bisa dibenarkan. Pendidikan itu harus mencerahkan, harus menghargai keunikan pribadi peserta didik, harus menyebabkan potensi terpendam peserta didik tergali dan terekspresikan dengan baik, harus dapat membangun karakter peserta didik sesuai dengan keunikan masing-masing, harus dapat memperluas cakrawala berpikir peserta didik, mempertajam nalar dan logikanya. Begitulah pendidikan yang sangat ideal. Tetapi begitu idealnya sehingga hampir menjadi sesuatu yang utopis, di Negara manapun tidak ada sistem pendidikan yang dapat mengadopsi semua definisi ideal pendidikan di atas.
Kenapa?, karena begitu kita berbicara tentang pendidikan nasional maka kita memasuki suatu sistem yang sifatnya massal. Sesuatu yang bersifat massal harus memunyai standard minimal sebagai acuan untuk melakukan evaluasi pencapaian hasil. Standard minimal yang berlaku untuk semua peserta tanpa memandang keunikan pribadi masing-masing. Seberapa unikpun pribadi peserta didik maka dia harus dapat mencapai standard minimal agar dapat dinyatakan berhasil melewati suatu jenjang pendidikan. Adalah tidak mungkin untuk mengevaluasi setiap peserta didik berdasarkan keunikan pribadi masing-masing, hal itu mustahil dilakukan secara massal atau secara nasional, itu resiko dari sesuatu yang sifatnya massal. UN hanyalah sebuah ujian dengan standar sangat minimal yang harus dicapai siswa di Indonesia.
Memang tak ada jalan pintas dalam meningkatkan kualitas pendidikan kita. Yang lebih penting, energi dan dana besar yang dihabiskan untuk mengukur output pendidikan selayaknya diimbangi peningkatan mutu layanan dan proses pendidikan. UN harus dinilai sebagai salah satu proses yang harus dilewati oleh siswa dan merupakan hal yang biasa, tidak perlu “disakralkan” karena bukan penentu kelulusan. Maka objektifitas serta kejujuran para siswa,guru, penyelenggara pendidikan sudah semestinya ditegakkan dan kualitas pendidikan bisa terjaga, sehingga niat siswa seharusnya murni untuk mencari ilmu bisa tercapai sampai akhir, seperti  bunyi hadist : “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan baginya menuju syurga”. (HR. Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah).(IMA)
»»  Baca Selengkapnya...